Sesosok laki - laki tampak sibuk mondar – mandir di ruangan yang penuh dengan karya seni yang berupa gambar maupun lukisan.
Sosok lelaki berkulit gelap, rambut panjang yang diikat cepol , dengan garis-garis kerutan yang timbul di sekitar mata kanan dan kirinya di tambah dengan garis lesung pipinya, tanda bahwa ia sedang tersenyum.
Tak seperti biasanya, Ia yang biasanya kerap mengenakan kaos polos, bertransformasi mengenakan setelan kemeja rapi berwarna putih hari itu, Ia tampak seperti bukan seniman.
Satu – persatu orang tampak menyalaminya seakan – akan Ia baru saja memperoleh penghargaan terbaik dalam hidupnya. Faktanya, saat itu Angga Aditya Atmadilaga resmi membuka sebuah pameran sukses bernama “How To Draw” , pameran yang juga melibatkan publik (orang awam) dalam pengkaryaannya.
Angga merupakan artmanager dari acara pameran seni tersebut.Tak hanya itu, Angga yang juga merupakan seorang seniman, pengajar, pedagang, desainer, kontraktor dan juga sebagai Art Techniccal Support.Segala hal yang ia kerjakan sekarang , hal yang biasanya disebut orang-orang adalah karir, segala hal tersebut tidak lepas dari perjuangan dan pertempuran. Hal tersebut terefleksikan dari namanya “atmadilaga” yang berarti “Jiwa Yang Bertempur”, nama yang diambil dari garis keturunan sang nenek dari ibunda.
Angga sendiri mulai diperkenankan menggunakan nama tersebut saat masuk usia Remaja, karena nama tersebut dirasa terlalu 'berat' untuk diberikan kepada Angga kecil. Arti dari 'Jiwa yang bertempur ' sendiri dilandasi pula oleh latar belakang keluarga nenek dan kakek yang memang pada masanya memiliki kemampuan dan ketertarikan pada pertempuran, baik secara fisik maupun gairah bertarungnya. Dan latar belakang itu berkembang menjadi kesadaran mental sebagai makna filosofi nama Atmadilaga.
Angga yang semasa berkuliah mengarahkan diri pada jurusan seni rupa di salah satu Universitas ternama di Indonesia yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang Seni Rupa sebenarnya bukan bidang yang Angga tuju dalam karirnya. Keinginan memasuki bidang ini baru dimulai di akhir tingkat SMU. Saat itu Ia ingin masuk pada bidang pelajaran yang sepenuhnya impulsif, Ketika Ia bisa menjauhi logika dan hal - hal sejenisnya, ketika Ia bisa merayakan tindakan yang tiba tina.Hal itulah yang membuat Angga memilih kuliah jurusan Seni Rupa, atau Seni Murni sebutannya untuk masa itu.
Salah satu karya yang mempengaruhi Angga dalam ideologi dibidang seni yaitu ketika Ia di tingkat 1 perkuliahan. Sebuah Karya yang awalnya dibuat karena sebuah peristiwa yang cukup membuat rakyat indonesia geram, yaitu isu klaim batik oleh malaysia.
Masalah yang di lakukan oleh negara tetangga dalam hal hak paten karya seni batik yang merupakan ciri khas dan sejatinya milik negara Indonesia, menyebabkan lahirnya ide di pikiran Angga untuk membuat sebuah karya yang berhubungan dengan hal tersebut.
Ia pun menciptakan karya berupa es balok setinggi 1 m, dengan lebar 20 cm, dan panjang 80 cm yang didalamnya di simpan batik yang beku dalam balok es. Lalu, hasil karya menakjubkan ini di letakkan di area publik, tepat di jalan utama Kampus ITB yaitu Jalan Ganesha nomor 10 Bandung.
Selama karya itu di publikasikan, Angga memilih untuk tidak berkuliah. Ia ingin melihat apa yang akan dilakukan mereka yang melalui dan melihat karyanya. Selanjutnya, Ia menangkap banyak hal yang menyenangkan. Mulai dari pihak yang heran bagaimana cara memasukan batik dalam es, ada juga yang menjilat es tersebut untuk memastikan benar bahwa benda dihadapannya memang Es, dingin,keras, dan mencair,
Ada juga yang menaburi dengan garam agar es tersebut lebih lama mencair, ada pula yang memahatnya menuliskan kata cinta bagi pacarnya yang entah siapa itu. Karya ini mempengaruhi Angga untuk membuat karya yang sepenuhnya mudah diakses publik, dapat berkomunikasi dengan publik dan merayakan estetik di luar galeri. Ini ialah karya Angga yang akhirnya membuatnya mulai mencintai dan mencari makna apa definisi seni, baginya.
Ada pula hal menarik di bidang seni yang di lakukan Angga menyita perhatian publik yaitu ketika Ia dan teman – temannya menciptakan workshop karya publik dengan merespon keadaan kota bandung melalui seni. Dalam workshop itu mereka saling mengasistensi ide, konsep, gagasan visual mengenai apa yang ingin dihadirkan di lingkungan publik yang merespon suatu permasalahan tertentu.
Dari diskusi itu digagaslah sebuah karya yang merespon jeleknya jalanan kota Bandung, khususnya jalanan sumur bandung di Bandung Utara, Dago. Jalanan daerah itu begitu rusak, berkubang dan juga becek, cukup banyak kecelakaan yang terjadi di kawasan itu. Akhirnya diputuskanlah kawasan tersebut akan di set selayaknya jalur kendaraan Off Road.
Dibuatlah bendera Start hingga Finish, Bendera pembatas jalan, dan pernak pernik lainnya yang menciptakan atmosfer Off Road. Pekerjaan yang dibuat dalam waktu 1 malam, dipasang pada dini hari, Dan esoknya terciptalah jalan offroad. Sebuah jalan umum yang beralih visual menjadi jalanan Off Road yang menarik pihak wartawan untuk memotret dan mewartakan kembali hal tersebut, yang kemudian di publish di surat kabar.
Hal ini membuat keesokan harinya jalan tersebut langsung diperbaiki. Suatu kritik halus yang menyenangkan namun berdampak besar bagi penanganan masalah tersebut secara cepat. " Seni menjadi tajam, meski dalam bentuk yang paling riang”.
Angga memulai membangun pekerjaan di tingkat pertama kuliah, mulai dari sebagai pembuat karikatur wajah, membangun elemen estetik, desainer artistik, bahkan badut petunjuk jalan. Sedangkan untuk pekerjaan di kala itu, banyak sekali project - project yang gagal.
Tapi Angga memang berharap kegagalan banyak Ia telan ketika Ia berada di bangku kuliah, sehingga Ia bisa meminimalisir kesalahan di saat Ia sudah lulus. Hal ini juga tidak lepas dari latar belakang seni rupa Angga.Cukup banyak pihak awam yang merasa bahwa setiap anak seni rupa mampu melakukan hal hal yang berkaitan dengan kreasi, mulai dari pembuatan gambar, desain, pembuatan furniture, arsitektur, fashion, dan lainnya.
Hal ini berkaitan erat pula dengan sikap Angga yang sering mengatakan “Ya” untuk setiap tawaran, apapun itu. Sedari kuliah Angga sepenuhnya menginap di kampus. Karena itu, Ia sudah harus membiayai segala kebutuhan dan pengeluaran.
Pernah di masa masa ini Angga menangis di Mesjid Salman, alasannya karna Angga menyadari Ia tidak memiliki uang sepeserpun untuk membayar biaya parkir agar motornya bisa keluar. Lalu, sebenarnya jikapun motornya bisa keluar Ia tak memiliki bensin untuk berpergian.
Di masa ini, Angga dan kawan kawannya sering makan siang bersama. Masing - masing menyumbang apa yang bisa disumbangkan, ada yang menyumbang gorengan, nasi saja, atau hanya sekedar piring, yang penting makan bersama, perasaan kesulitan ini sebenanrnya menjadi percikan romantisme yang membuat pengaruh pada kebijakan kebijakan di usaha Angga kini.
Selain itu, ada pula pengalaman dan memori semasa kuliah yang selalu Angga simpan dan dimana hal tersebut berhubungan dengan apa yang sedang Ia lakukan saat ini. Angga dulu sempat bekerja sebagai badut penunjuk arah jalan, kala itu Ia selalu kesulitan membeli material peralatan seni rupa, misalkan saja dulu untuk membeli peralatan cukil kayu seharga Rp 125.000 hingga ia memutuskan bekerja sebagai badut penunjuk jalan untuk menambah-namabah membeli peralatan kebutuhan kuliah. Tapi dari hal ini pula lahirlah sebuah tekad yang kuat dari dalam diri jiwa yang bertempur tersebut, bahwa kelak Ia harus memiliki toko art supplies, yaitu Just Art Supplies yang ada kini.
Di kampusnya, Angga sempat menjabat ketua Pagelaran Seni Budaya ITB. Sebagai seorang ketua, Angga harus memberikan loyalitas sepenuhnya kepada kegiatan yang sedang ia laksanakan. Angga harus mengesampingkan kepentingan pribadinya, termasuk mengesampingkan pendidikannnya. Jiwa yang bertempur, memang memiliki sifat seperti itu, dalam jiwanya memang sudah terlatih dan suda mengakar jiwa seorang pemimpin sejati.
Tapi, sesungguhnya karena banyaknya kegiatan project yang Ia naungi di masa kuliah, Angga kerap mengabaikan waktu kelulusannya. Baru 3 bulan sebelum masa Drop Out (D.O) bagian tata usaha menanyakan padanya apa Ia masih memiliki keinginan dan mau meneruskan pendidikan Sarjananya atau Ia hanya mau menunggu waktu D.O.
Tentu, pilihan tersebut bukanlah keputusan yang sulit, tapi akan sulit dalam fakta pengerjaannya atas keputusan yang Ia pilih. Tapi, Angga bertekad Ia harus lulus dan sarjana. Maka dengan tekad yang ia pegang dan tanggung jawab yang telah menjadi dasar jiwanya, dalam waktu 2 bulan Ia dapat dengan sukses menyelesaikan Tugas Akhirnya.
Saat sidang berlangsung, timbul fikiran dalam kepala Angga. Ia mempertimbangkan setelah Ia lulus, Ia ingin terjun kedalam dunia militer.Tapi , mendadak fikiran atas rencana tersebut sirna. Ternyata usai sidang, Para Dosen menawarkan Angga untuk menjadi Pengajar di ITB dan tentu saja saat itu Angga langsung menerimanya.
Setelah Angga lulus, Ia tak memiliki hal apapun selain selembar kertas yang didapatkan dengan tindakan keras pengerjaan lembaran – lembaran dibawah tekanan D.O yang menentukan apakah Ia layak atau tidak mendapati selembar kertas tersebut, Ijazah.
Saat itu, menjadi asisten pengajarpun belum mendapatkan penghasilan yang cukup baginya, karena sebagian penghasilan asisten yang Ia dapatkan akan ditukarkan dengan beasiswa saat menempuh S2, untuk meraih selembar kertas yang tingkatan nilainya lebih tinggi dari yang sebelumnya Ia peroleh.
Untungnya, waktu lalu sebelum lulus, Angga telah mengasah mentalnya. Ia membiasakan diri mengambil segala resiko. Ia pikir dengan usianya yang masih muda, akan ada waktu jikapun Ia melakukan suatu kesalahan.
Maka setelah lulus, Angga mengambil resiko yang besar dengan meminjam lembaran – lembaran kertas yang digunakan semua manusia (kecuali beberapa suku tertentu) untuk melakuan transaksi demi memenuhi kebutuhan ataupun keinginan hidup. Angga pun segera mencari Bank yang dapat menerima Ijazah sebagai Agunan pinjaman.
Terdapat beberapa Bank yang menrima Ijazah Cap Gajah bergading satu itu. Ia pun menggadaikan ijazah tersebut dengan harga dua puluh juta rupiah. Lalu, Angga yang sebelumnya telah berdiskusi dengan temannya, sepakat untuk membuat usaha Art Supplies Online (penyuplai barang – barang seni yang dilakukan melalui media sosial) yang selama ini menjadi ambisi utama yang tak terlupakan sejak jaman kuliah. Art Supplies Online tersebut bernama Gudang Mesiu, yang teletak di daerah Gatot Subroto. Jual – beli Gudang Mesiu dilakukan melalui sebuah Blog pada tahun 2011.
Ambisi dan mimpi Angga untuk memiliki Art Supplies memang telah ia dapatkan. Tapi, 3 bulan setelah launchingnya Gudang Mesiu, Angga menyadari bahwa bangkrut. Tak hanya itu, tabungannya juga habis ! habis karena 2 hal, pertama Ia keliru membeli barang dengan perputaran uang yang lambat dan barang yang rentan rusak.
Lalu hal yang kedua ialah banyaknya teman Angga yang meminjam uang padanya yang ia tidak dapat menolak meminjamkan saat itu, dan ia pun tahu ia tidak bisa menagihnya. Di situ Angga berpikir bagaimana caranya agar Ia dapat membayar cicilan hutang sebesar Rp 1,2 juta perbulan yang tidak sebanding dengan pendapatannya yang hanya sebesar Rp 120.000 per-bulan di tahun 2011. Jauh dari Upah Minimum Regional (UMR) paling minim pun jauh dari kata “YA”.
Maka akhirnya selain menjual art supplies, Angga menambahkan layanan jasa konsultasi estetik. Mulai dari pekerjaan interior, patung, landscape dan penciptaan karya seni. Dengan metode ini Angga bisa menjual jasa layanan konsultasi plus dengan tawaran pembuatannya yang berarti menggunakan material miliknya.
Ide ini tak berjalan terlalu buruk, tapi setidaknya pas sekali dengan biaya yang dibutuhkan untuk membayar biaya cicilan bank. Selama 6 bulan pertama, yang Angga dan temannya lakukan ialah bertahan, tidak ada keuntungan. Salah satu keuntungan yang Ia kenang selama 6 bulan itu adalah Ia dan temannya bisa membeli sepatu boots seharga Rp 180.000 untuk dua pasang. harga yang sangat murah, namun cukup bergaya di kala itu.
Selanjutnya, Ia dan temannya mulai bisa kredit motor dari sistem kerja ini. Motor yang mereka butuhkan untuk pengerjaan pembangunan proyek bambu di lembang. Tapi,tak ada keuntungan besar yang mereka dapatkan karena klient mereka belum ingin terlalu membayar mahal untuk jasa konsultasi.
Selain itu, mereka kerap salah melalakukan perhitungan anggaran biaya, jelas, banyaknya penipuan yang mereka alami. Pernah mereka mengalami penipuan oleh tim pekerja yang sebenranya sudah menjadi langganan mereka. Mereka memesan bambu seharga 25 juta, untuk dikirimkan pada tempat mereka kerja di 3 hari menjelang acara. Ternyata, bambu tidak datang dan mereka harus mengganti rugi kepada panitia. Tiba - tiba saja mereka memiliki hutang begitu banyak akibat penipuan dan juga denda yang besar.
Akhirnya masa itu tiba, masa ketika kejenuhan mulai terasa. Mental Angga dan teman – temannya nya diuji, saat salah satu dari tiga orang temannya akhirnya memilih mundur. Akhirnya Gudang Mesiu resmi diberhentikan, dengan menyisakan hutang yang masih harus dibayar selama 2 tahun kedepan.
Beberapa waktu berselang hal tersebut, Angga mendapatkan panggilan dari temannya yang mengatakan bahwa ada satu perusahaan yang tertarik dengan konsep Gudang Mesiu, yakni penjualan Art Supplies Online. Perusahaan tersebut mengajak Angga bekerjasama dan pemilik perusahaan tersebut meminta Angga untuk membangun
medialukis.com. Dengan biaya investasi yang sangat besar bagi Angga dan temannya di saat itu. Maka dimulailah proyek pembangunan
medialukis. com yang memakan waktu 2 tahun karna ada 1700 produk yang harus di setting sistem penjualan dan promosinya dengan pengerjaan mulai dari 0, baik itu konten, desain web, pembangunan web, data internal, dan banyak hal lainnya.
Angga sudah cukup nyaman dalam project ini, secara pendapatan dan waktu kerja seharusnya tidak ada masalah. Namun Jiwa yang bertempur enggan diam, dia selalu mencari apa yang bisa membakar dirinya, maka Ia memutuskan untuk berkeliling bandung, berhujan hujan ria, memikirkan apa yang ingin dilakukan berikutnya.
Lalu, ketika Ia mengingat namanya, terbelesitlah untuk memasukan kata Art pada usaha miliknya dan tercetuslah ARTMADILAGA. Ia pun mulai membangun manajemen Artmadilaga dan memasukan namanya untuk terdaftar sebagai badan hukum. Artmadilaga yang Angga jalankan sendiri melanjutkan Gudang Mesiu yang Ia kembangkan dengan penambahan beberapa hal terkait Managemen Seni dan Budaya.
Angga pun memeiliki 2 pekerjaan utama yakni Artmadilaga dan medialukis. Namun di tahun 2015 ini Ia memutuskan keluar dari medialukis, hal ini terkait dengan keadaanku yang sulit menerima kebijakan investor sekaligus pemiliksaham besar medialukis mengenai sebuah project. Akhirnya Angga memutuskan melepas medialukis dan juga How To Draw penuh.
Angga akan memulai kembali dari Nol. Hal ini mengajarinya bahwa Ia tak ingin kembali berhubungan dengan investor. Alasannya, Ia tak pernah bisa mengetahui hal sebenarnya yang diinginkan seorang investor terkait kebijakan suatu perusahaan. Ia lebih memilih berhubungan dengan Bank, yang tak pernah mencampuri kebijakannya sejauh Ia "mensuapinya" dengan rutin " . Di tahun 2016 akan ada banyak hal yang Ia dan tim manajemennya rencanakan untuk mereka launching, semua di bahwa managemen Artmadilaga :)